Silakan menempatkan Iklan Anda disini

Selasa, 16 Februari 2010

Probiotik pada IBS

PROBIOTIK PADA IBS

Heru Wijono, dr. SpPD

Latar Belakang

Penderita irritable bowel syndrome (Lihat artikel lain di Blog ini juga ya, tentang IBS) di Amerika Serikat mencapai 25% dari seluruh penduduk. Sehingga IBS telah menjadi masalah besar di Negara tersebut, terutama dalam hal penanganannya. Penggunaan probiotik sebagai terapi dalam irritable bowel syndrome (IBS), didasari pemikiran patofisiologi IBS akibat aktivasi system imun, gangguan pergerakan usus, perubahan barrier mukosa dan sensitivitas organ dalam. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemakaian probiotik pada IBS.

IBS dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup, gangguan psikologis, gangguan keluarga dan pemeriksaan serta tindakan medis yang berlebihan, gangguan kualitas kerja bahkan kematian akibat terapi atau intervensi iatrogenik.


Tujuan utama terapi IBS adalah mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Mekanisme gut-driven pathophysiologic yang diyakini berperanan dalam timbulnya IBS meliputi infeksi usus dan mekanisme system imun, dismotilitas, fermentasi yang abnormal dan hipersensitivitas visceral.

Peningkatan kepekaan selaput lendir usus dan proses stimulasi yang abnormal diduga berperan pada terjadinya IBS. Penelitian terbaru di Postgraduate Medicine mengenai strain terbaru bacteria Bacillus coagulans GBI-30, PTA-6086 menunjukkan efektifitas dalam mengurangi nyeri abdomen dan kembung pada penderita dengan IBS. Penelitian ini menunjukkan strain probiotik Bacillus coagulans, dengan nama dagang GanedenBC30 dan dalam uji pasca pemasaran menunjukkan penurunan yang bermakna secara statistik pada keluhan kembung dan nyeri abdomen. Dalam studi lain dilakukan kombinasi Bacillus coagulans, Lactobacillus acidophilus dan Streptococcus thermophilus. Bifidobacterium infantis 35634 mengurangi sitokin abnormal sistemik pada penderita dengan IBS. Temuan ini mempertegas kemungkinan penggunaan probiotik pada penderita dengan IBS.

Aktivasi system Imunitas pada IBS

Radang saluran cerna akibat infeksi adalah faktor resiko lingkungan yang paling bermakna dalam timbulnya IBS. IBS dilaporkan timbul setelah infeksi dengan Campylobacter, Salmonella, Escherichia coli, dan Shigella, selain itu bisa juga diakibatkan oleh infeksi virus.

Dilaporkan adanya ketidakseimbangan pengaturan tingkat genetik dalam pengeluaran sitokin yang bersifat menghambat keradangan pada penderita dengan IBS. Satu penelitian dari Van Der Veek dkk. Menunjukkan bahwa perubahan kontrol genetis terhadap sitokin berperan penting dalam pengaturan keradangan di saluran cerna. Susunan genotip yang merangsang pengeluaran tumor necrosis factor-α tinggi, sejenis sitokin perangsang keradangan, didapatkan meningkat secara bermakna sedangkan sekresi interleukin-10, sitokin kontra inflamasi didapatkan menurun.

Mekanisme Probiotik dalam Terapi Irritable Bowel Syndrome

Manifestasi klinis Inflammatory bowel syndrome amat beragam. Sampai saat ini belum didapatkan terapi yang terbukti efektif. Penggunaan probiotik dalam IBS dapat menjadi alternatif yang menjanjikan.

Pengujian di beragam pusat studi yang terbaru menunjukkan terapi probiotik menurunkan waktu serangan radang saluran cerna akibat infeksi pada anak-anak. Sedangkan pemakaian Lactobacillus paracasei NCC2461 telah dilakukan uji coba pada hewan coba, menunjukkan penurunan kontraktilitas otot pasca infeksi. Baru-baru ini L. salivarius UCC4331 dan B. infantis 35624 menunjukkan penurunan rasio sistemik interleukin-10 terhadap interleukin-12 pada penderita dengan IBS.

Lactobacillus farciminis meningkatkan fungsi penghalang dan mencegah perpindahan bakteri pada tikus dengan radang usus besar akibat induksi trinitrobenzene sulfonic acid. L. plantarum 299 (LP299) dilaporkan tidak memberikan respon yang sama. Pemberian L. rhamnosus 19070-2 dan L. reuteri DSM 12246 menstabilkan fungsi barrier usus pada anak-anak dengan alergi kulit.

Gangguan pergerakan usus diduga akibat perubahan bowel habit, suatu gejala yang sering didapatkan pada penderita dengan IBS. Sampai saat ini system saraf dan otot belum dianggap sebagai target dalam terapi yang menjanjikan pada penderita dengan IBS, karena lokasinya yang relatif jauh dari rongga usus. Dari 5 spesies probiotik yang diuji, hanya L. paracasei yang dapat secara bermakna mengurangi disfungsi otot pada IBS akibat Trichinella spiralis.

L. paracasei secara bermakna memperbaiki gangguan gerakan usus pasca infeksi, berdasarkan pemeriksaan video fluoroscopy dan imaging. Pemberian medium kultur L. Paracasei dalam bentuk minuman, yang tidak mengandung bakteri hidup, juga memperbaiki gangguan pergerakan saluran cerna pasca infeksi. Secara keseluruhan, beragam penelitian menunjukkan pemberian probiotik spesifik dapat memperbaiki system saraf dan otot rangka dan meningkatkan fungsi otot pada penderita dengan IBS.

Kembung dan pembengkakan perut sering didapatkan pada penderita dengan IBS, Gangguan pergerakan usus dan gangguan buang angin dapat menjadi penyebab yang mendasari gejala ini. King dkk. Melaporkan produksi gas dalam rongga usus yang lebih besar pada penderita dengan dibanding individu normal. Probiotik yang menurunkan fermentasi abnormal dapat bermanfaat pada penderita dengan fermentasi abnormal akibat perubahan flora dalam usus.

Nyeri adalah gejala lain IBS, diduga akibat terjadinya peningkatan sensitivitas organ dalam. Didapatkan bukti bahwa probiotik tertentu dapat memperbaiki rangsangan saraf di usus. Pemberian Saccaromyces boulardii pada babi sebagai hewan coba menunjukkan perbaikan pada plexus submukosa. L. farciminis menunjukkan perbaikan pada hipersensitivitas visceral pada tikus hewan coba. L. paracasei NCC2461 memperbaiki hipersensitivitas visceral dan ekspresi neurotransmitter sensorik. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan probiotik tertentu dapat memperbaiki neurotransmisi dan persepsi saluran cerna.

Uji Klinis

Beragam uji klinis telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas probiotik pada pasien dengan IBS, dengan tujuan mengetahui efektivitas terapi probiotik terhadap keluhan flatulens, nyeri abdomen, transit times, dan bacterial counts.

Sebagai suatu penyakit saluran cerna yang kronis, IBS dapat mengalami kekambuhan, dilaporkan terjadinya perbaikan dengan placebo pada 23-43%. Temuan ini dapat menimbulkan adanya kemungkinan bias dalam penelitian tersebut.

Streptococcus faecium dalam pemberian selama 4 minggu pada pasien yang menderita gangguan bowel selama minimal 6 minggu menunjukkan 81 % penderita menunjukkan perbaikan dibanding 41% dengan obat lain.

Kesimpulan

Penderita dengan IBS dengan dominasi kesulitan buang air besar memberikan respon berbeda dibanding pemberian dengan penderita IBS dominasi diare yang mendapat probiotik. Hal ini dapat diakibatkan mekanisme jenis bakteri yang berbeda dalam system persarafan saluran cerna. Secara keseluruhan menunjukkan hasil yang positif dalam terapi IBS. Akan tetapi hasil penelitian masih beraneka ragam sehingga masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Jadi sementara ini terapi masih menggunakan cara lama. Lebih baik kita mencegah daripada mengobati. Kalau ada gejala-gejala mirip sebaiknya atur pola makan hindari spicy food dan selalu jaga higiene kita supaya tidak mengganggu keseimbangan di dalam saluran cerna kita.

Rabu, 10 Februari 2010

Nyeri dada akibat asam lambung

GERD

NYERI DADA AKIBAT ASAM LAMBUNG

Heru Wijono, dr., SpPD


Sering penderita mengeluh sulit menelan, tapi tidak didapatkan kelainan pada tenggorokan dan kerongkongan bagian atas, sering juga didapatkan penderita dengan keluhan panas di dada tetapi tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan jantung. Keluhan ini salah satunya bisa diakibatkan oleh GERD


Apa itu GERD?

Gastroesophageal reflux disease, sering disingkat GERD atau refluks asam lambung, terjadi akibat cairan lambung mengalami regurgitasi (kembali masuk esophagus atau refluks). Cairan lambung ini mengandung asam lambung dan pepsin yang dapat mengakibatkan kerusakan akibat peradangan (inflamasi) pada selaput lender dinding kerongkongan (esophagus), sering disebut sebagai esofagitis. Pepsin sebenarnya berfungsi mencerna protein di lambung, selain itu cairan refluks dapat juga mengandung asam empedu (bile) yang berasal dari usus dua belas jari (duodenum). Asam lambung dan pepsin tidak menimbulkan kerusakan di lambung karena dinding lambung telah terkondisi dengan adanya lapisan mucus yang melindungi terhadap asam lambung dan pepsin, tetapi dapat merusak pada dinding esophagus, karena esophagus tidak memilki mekanisme pertahanan serupa.

Sebenarnya tubuh manusia mempunyai mekanisme pertahanan terhadap efek refluks cairan lambung. Sebagai contoh, refluks cairan lambung lebih sering terjadi pada waktu pagi dan siang hari saat penderita dalam keadaan berdiri/ duduk. Dalam posisi ini, cairan asam labung dengan sendirinya akan kembali masuk ke lambung karena gravitasi. Selain itu, pada waktu penderita dalam keadaan sadar, sering menelan baik ada refluks ataupun tidak. Setiap kali menelan menyebabkan cairan refluks kembali ke lambung.


Selain itu, ludah manusia mengandung bikarbonat yang bersifat basa, setiap kali menelan, ludah yang mengandung bikarbonat masuk ke esophagus dan menetralisir asam labung yang masih tersisa di esophagus (sisa setelah proses eliminasi asam labung akibat menelan dan gravitasi ).

Gravitasi, proses menelan, dan ludah adalah mekanisme protektif untuk esophagus, tapi hanya efektif bila penderita dalam keadaan tegak. Pada waktu penderita dalam posisi berbaring, tidak ada lagi pengaruh gravitasi, proses menelan berhenti, dan pengeluaran air liur menurun. Karena itu, refluks dan GERD lebih sering terjadi pada malam hari.

Beberapa keadaan tertentu menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan terhadap GERD, semisal pada waktu kehamilan. Kenaikan kadar hormone pada waktu kehamilan menyebabkan refluks dengan menurunkan tonus lower esophageal sphincter (gambar). Di saat yang sama, janin meningkatkan tekanan dalam perut. Penurunan tonus juga dapat terjadi pada penyakit lain seperti scleroderma atau mixed connective tissue disease

Gaya Hidup

GERD adalah penyakit kronis. Sekali terjadi umumnya berkepanjangan. Keradangan pada esophagus dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi GERD bisa terjadi lagi beberapa waktu berselang. Karena itu terapi GERD harus melibatkan edukasi untuk merubah gaya hidup (life style) penderita, karena perubahan life style dapat mencegah timbulnya kembali GERD. Pengobatan medis hanya dimulai lagi bila ada gejala GERD lagi

Usahakan tetap dalam posisi duduk selama 30 menit, jangan langsung berbaring setelah makan. Beberapa makanan yang dihindari :

· Soda dan minum berkarbonasi (softdrink)

· Coklat

· Pepermint

· Makanan pedas

· Makanan yang asam (jeruk, manisan)

· Makanan yang digoreng dan berlemak

Sebaiknya tidak makan 2-3 jam sebelum tidur. Selain itu ada beberapa perubahan gaya hidup :

· Hentikan merokok

· Makan dalam porsi kecil tapi lebih sering

· Bila perlu turunkan berat badan

· Pakai baju yang loose fitting

· Hindari berbaring 3 jam setelah makan

· Jika perlu, naikkan posisi tubuh bagian atas 6-8 inci, bila perlu dengan menambah bantal

Bagaimana bila gejala GERD masih dirasakan?

Bila perubahan gaya hidup dan obat tidak dapat memperbaiki, kemungkinan diperlukan tes tambahan :

· Barium swallow radiograph untuk mengetahui kelainan anatomi seperti hiatal hernia. Penderita minum larutan khusus kemudian dilakukan pemeriksaan x ray. Tes ini tidak dapat mendeteksi adanya iritasi ringan, tetapi dapat melihat striktur (penyempitan esophagus) dan ulkus.

· Endoscopy lebih akurat dibanding barium swallow radiograph. Dokter akan melmberikan obat untuk melemaskan otot kerongkongan dan kemudian secara perlahan memasukkan selang kecil yang fleksibel ke dalam kerongkongan. Bagian ujung selang ini terdapat kamera dan lampu mini. Endoskopi dapat melihat secara langsung permukaan esophagus, lambung sampai dengan usus dua belas jari. Bila diperlukan dapat juga dilakukan pengambilan sedikit jaringan (biopsy) yang kemudian dilihat di bawah mikroskop .

· pH monitoring examination Dalam pemeriksaan ini dimasukkan selang kecil kedalam esophagus untuk menempatkan detector yang amat kecil selama 24 sd 48 jam. Selama itu penderita dapat beraktivitas seperti biasa, sementara alat ini mengukur kapan dan seberapa banyak asam lambung yang masuk ke esophagus. Tes ini hanya berguna bila didukung catatan medik yang lengkap (kapan penderita makan, apa yang dimakan, dan jumlah makanan), sehingga dokter dapat melihat hubungan antara gejala GERD dan episode refluks.